Kamis, 12 Maret 2015

(12) Lapas Wirogunan

Canda Lapas realitas janda banyak juga yang dipenjara
Terkejut juga ya rasanya, berdasar penelitian yang tak kusengaja, ternyata kebanyakan para WBP ( Wanita Binaan Pemasyarakatan ) yang dipenjara bersama denganku kebanyakan adalah janda. Gelar janda yang disandang teman-temanku dan aku, didapat dari berbagai latarbelakang peristiwa yang dialami masing-masing individu. Dari aku sendiri kudapatkan gelar janda karena aku gak tahan hidup dicurigai terus dan dicemburui terus yang tidak masuk akal. Faktor perbedaan usia 18 tahun lebih tua suamiku, menjadi salah satu faktor pemicunya. 

Suamiku tidak mempercayaiku dan selalu berpikir buruk tentang aku, dia merasa tidak menarik lagi karena sudah berusia tua dan tidak bisa memenuhi kebutuhan biologisku, ini yang membuat dia selalu uring- uringan padaku. Padahal aku sebagai wanita setia menerima apa adanya dia, tapi aku tidak sanggup menjalani kehidupan yang selalu tidak nyaman bagiku. Setiap hari yang sebetulnya tidak ada masalah, suamiku selalu mencari-cari masalah. Tidur secara tidak disengaja tidak menghadap diapun jadi masalah, aku jadi merasa capek bertengkar karena masalah yang dibuat-buat. Kelamaan di kamar mandi pun salah, suamiku menuduh aku sedang sms-an dan telepon laki-laki lain padahal aku tidak membawa hp, melamun tak sengaja di ruang tamu juga jadi masalah, katanya aku melamunkan laki- laki lain. Belanja ke pasarpun jika kelamaan juga jadi masalah katanya aku kencan dengan laki-laki lain di pasar padahal di pasar hampir semua pedagangnya aku mengenalnya. Hehehe lagian apa gak ada tempat lain untuk kencan  misal hotel, mall, cafe, masa kencan kok di pasar huft...

Hal-hal yang selalu dicari-cari kesalahanku membuatku tidak nyaman sebagai istrinya yang lebih muda 18 tahun. Sebuah rumah tangga yang baik adalah saling mempercayai pasangan masing-masing, saling menghargai, saling menghormati keluarga masing- masing. Tidak ada manusia yang  sempurna, setiap anggota keluarga kita pasti ada yang punya kebaikan dan keburukan, dan kita sebagai salah satu bagian dari mereka, seharusnya bisa menghargai dan menghormatinya. Ada yang tidak kusukai dari suamiku, dia seolah-olah hanya mau denganku tapi tidak mau dengan keluargaku. Di dalam keluargaku, aku termasuk keluarga yang menurutku tergolong kaya dibanding adik-adikku yang lain, ini bisa dilihat dari rumahku dan usaha kos-kosanku juga pekerjaan suamiku sebagai pemegang saham kedua di perusahaan yang dikelola dia dan temannya yang punya cabang hampir di seluruh Jawa tengah . 

Tapi ketika aku membantu adikku dan papaku yang hidupnya tidak seberuntung aku, seolah-olah dia keberatan. Aku menjadi sedih, kekayaanku tidak bisa membantu adik-adikku dan papaku. Yang paling membuatku sakit hati adalah ketika papaku yang keturunan Cina dan adikku yang seorang pendeta dari Malang yang datang mengunjungiku dan menginap di rumahku. Karena aku sayang papaku yang keturunan Cina sebagai wujud sayangku pada papaku, aku ingin memasak daging babi yang sudah lama jarang dimakan papaku dan dagingnya kubeli di pasar gang baru. Sedang suamiku beragama Islam dan tidak mau makan babi, tapi mau makan kepiting dan daging katak. Memang kami menikah secara Islam dengan alasan  agar anakku memiliki nama ayahnya di akte kelahiran ketika lahir nanti, dan setelah menikah aku tetap memeluk agama Kristen dan aku keturunan Cina, walau mamaku orang Jawa tulen yang menikah dengan papaku yang keturunan Cina wajar jika aku kadang makan daging babi juga. 

Untuk menghormati suamiku dan ingin memanjakan papaku yang sedang berkunjung ke rumahku aku memasak daging babi dan masakan itu aku sembunyikan di dapur. Lokasi tempat penyimpanan masakannya juga di lantai. Letaknya agak tersembunyi dihalangi lemari tempat aku menyimpan peralatan dapur. Aku berpesan pada papaku jika kalau mau makan ambil masakannya di dapur, dan jangan sampai ketahuan suamiku. Entah kenapa biasanya suamiku tidak pernah melihat-lihat isi di dapur malah  dia ke dapur dan menemukan masakan babiku yang kusimpan di wajan yang ada tutupnya. Dasarnya aku orangnya jujur ketika dia menanyaiku itu daging apa yang di wajan yang berada di lantai dekat pojok lemari, aku menjawab “daging babi.” Tanpa terpikir olehku hasilnya akan kacau, tiba-tiba suamiku lari ke depan rumahku, dia berdiri di  pinggir jalan lalu berteriak keras tertuju papaku dan adikku, “kalian pergi dari sini, kalian tidak menghormati aku!” Aku yang mendengarnya kaget, ternyata daging babi yang kumasak untuk papaku membuatnya marah, lalu dia berniat mengusir papa dan adikku. Dia marah-marah cerita dengan tetanggaku sebelah rumah yang bernama Mbah To, guru ngaji yang bekerja sebagai tukang sol sepatu. Dia bilang “Papanya dan adiknya tak usir dari rumah, mereka tidak menghormatiku makan daging babi di rumahku.” Aku akhirnya menyusul suamiku ke sebelah rumahku dan bilang “Aku minta waktu sehari dua hari lagi untuk adikku yang lagi dapat tugas di Semarang, kalau sudah selesai adikku akan pulang dan aku kalau ikut kamu usir, aku juga pergi bersama mereka!” Hal ini tidak bisa kulupakan seumur hidupku, papaku sendiri diusir dari rumahku hanya karena daging babi yang menurut suamiku yang beragama Islam adalah haram. Padahal menurutku apalah artinya makanan yang haram dimakan, apa lebih berdosa makanan atau kelakuan orang yang tidak menghormati orang tuaku. Ah ga taulah, yang jelas aku sakit hati, ini ada ayat bagus yang kutemukan ketika membaca firman Tuhan yang tertulis di Alkitab.
“Dengar dan camkanlah : bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang.” Matius 15 : 11.

Matius 15 : 17 – 20
17. “Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam mulut turun ke dalam perut lalu dibuang di jamban.
18. Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang.
19. Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.
20. Itulah yang menajiskan orang. Tetapi makan dengan tangan yang tidak dibasuh tidak menajiskan orang.”

Ada hal lain yang juga menyakiti hatiku, suamiku adalah orang kaya sedangkan aku orang miskin dan aku merasa tidak dihargainya. Apalagi ketika aku memutuskan cerai dengan suamiku dan menyuruhnya dia yang mengurus surat cerainya. Ketika aku minta bagian harta untuk hidup aku dan anak-anakku yang ikut aku, yaitu harta gono gini, dia dengan entengnya bilang, “kamu dulu nikah denganku tidak punya apa-apa, sekarang ceraipun kamu tidak punya apa-apa. Semua ini hartaku, bukan hartamu!”

Astaga, sakitnya jadi orang miskin yang menikah dengan orang kaya, hal lain yang membuatku tidak mau kembali kepadanya adalah suamiku seorang yang pelit, dia pelit banget kepadaku. Ketika aku dipenjara, suamiku paling tidak sebulan sekali membesukku di penjara. Yah kalau gak GR sih, aku tau gelagatnya suamiku ngajak ‘balen’ alias rujuk. Tapi aku gak mau, suamiku tidak bisa mengambil hatiku karena dia pelit kepadaku, pelit kalau miskin gak masalah, tapi dia pelit walaupun kaya, haduh... Lagian aku sudah trauma, jadi aku tidak mau kembali ke jalan yang usang, mengulangi pertengkaran lagi, mengulangi masa-masa yang aku tidak mau mengulanginya lagi. Aku capek, aku lelah, lebih baik aku sendiri. 

Hidupku lebih tenang dan lebih baik hubunganku dengan suamiku sebagai kakak dan adik saja yang silaturahminya baik dan membesarkan anak-anak dengan damai. Dan alasanku yang paling utama dan mendasar adalah aku tidak mencintainya. Aku hidup bersamanya hanya sekedar pelarianku saja, dulu aku tidak jadi menikah dengan pacar yang seusiaku, dan kupikir menikah dengan orang yang menyukaiku, maka aku lambat laun juga akan bisa mencintainya. Seperti pepatah Jawa yang mengatakan “witing tresno jalaran soko kulino.” Tetapi ternyata peribahasa Jawa itu tidak berlaku untukku. Hidup kurang lebih 16 tahun bersamanya dan mempunyai anak 4 orang, yang ketiga adalah kembar tidak bisa menumbuhkan rasa cintaku kepadanya. Sekarang di sisa hidupku, aku ingin menikah dengan orang yang kucintai dan mencintaiku, saling menerima apa adanya dan saling mempercayai juga saling menghormati dan menghargaiku dan keluargaku.

John D. Rockefeller ( 1839 – 1937 )
“Kalau Anda ingin sukses, hendaknya Anda tempuh jalan – jalan baru, ketimbang terus menekuni jalan – jalan usang. Berupa sukses yang diterima.”

Ted C. Kiegel ( 2002 )
Berpikir positif mengenai diri anda sendiri. Hilangkan pikiran negatif dan kegagalan. Semua keberhasilan membutuhkan waktu, fokus dan janganlah menengok ke belakang. Kita melihat ke depan, maka proses terakhir, Allah akan berkata, “Sudah selesai, sudah Kulaksanakan.” Artinya Ia sudah mengatasi seluruh persoalan kita sebelum kita sendiri sanggup mengatasinya.

Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu kekurangan. Siapa yang memberi berkat, diberi kelimpahan. Siapa yang memberi minum, ia akan diberi minum.” Amsal 11 : 24 – 25.


“Tuhan mau agar kita waspada terhadap segala macam rasa tamak yang dapat muncul untuk mengerogoti hati kita. Yesus berkata bahwa kekayaan tidak menjamin hidup seseorang di kehidupan mendatang, sebab di sana yang dilihat adalah isi hati kita, bukan harta kita. Karenanya, cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu.” Lukas 12 : 15.

(bersambung ke bag.13)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar